Monday, August 9, 2021

Lanjuuut

 Dua

 

Alex membuka mata saat burung- burung di luar apartemennya riuh berbunyi. Alex memaksa kakinya berayun dari atas tempat tidur. Dengan langkah berat dan mata setengah terbuka ia menuju jendela. Alex mendorong jendela kaca hingga terbuka sedikit. Ia membutuhkan hembusan udara pagi untuk membangunkannya secara total, tak peduli sedingin apapun cuaca diluar sana.

Alex beranjak ke kamar mandi, ia ada kelas pagi hari ini. Bayangan di cermin menatap balik pada Alex. Mata cekung, dengan lingkaran hitam di sekelilingnya yang semakin gelap saja.

Belakangan ini, Alex hanya tidur kira- kira satu jam saja sehari. Ia bisa jatuh sakit kalau begini. 

Dan ibu akan terbang kesana, lalu menyeretmu pulang. 

Alex mendengus pelan. Ibunya tahu benar kenapa ia jauh- jauh pergi kemari meninggalkan kota New York. Ibunya tahu benar, di sana semua yang terindah dan terburuk terjadi pada Alex. Yang terburuk… Alex menutup matanya saat kenangan itu berkelebat lagi. 

Dan kini, hari- hari tanpa tidurnya kembali lagi. Alex menghela napas. Ia membiarkan wajahnya diguyur air pancuran.

Alex memutuskan untuk berjalan kaki menuju gedung kelasnya. Lagipula, apartemennya masih berada dalam lingkungan universitas. Dan Alex juga berencana mampir ke coffee shop di dekat minimart sebelah asrama mahasiswa.

Asrama mahasiswa… Gadis itu…

Alex mengernyitkan dahinya sambil memejamkan mata. Ingatan soal gadis itu seolah membuatnya sakit. Ah, Alex benar- benar butuh segelas kopi. Ia mempercepat langkahnya.

Alex melangkah pelan keluar dari coffee shop, ia menyesap kopinya. Kehangatan yang nyaman menjalari tubuhnya. Tanpa sadar, Alex menoleh ke arah kirinya. Lalu menatap lama jendela- jendela gedung putih berlantai lima itu. Di balik salah satu jendela itu, gadis itu tinggal. Mungkin ia sedang tidur nyenyak. Ironis sekali. Karena sejak melihatnya, Alex jauh sesuatu dari yang namanya tidur nyenyak.

Alex menyesap kopinya sekali lagi. Ia harus pergi, walaupun ia dengan senang hati berdiri seharian di sini. Dengan harapan ia bisa melihat gadis itu lagi. Sekedar untuk memastikan. Kemungkinan matanya hanya salah lihat. Karena gadis yang sudah pergi dari dunia ini, tak mungkin kembali lagi.

Sekedar memastikan… 

***

 

Aria bersin- bersin selama lima belas menit terakhir. Ia mengabaikan hidungnya yang gatal lalu membalik badannya. Aria menarik selimutnya sampai menutupi kepala. Bersin- bersin itu mengganggu tidurnya. Mata Aria masih berat sekali. Ia mencoba tidur lagi.

Aria tertidur entah berapa lama. Ia terbangun kali ini karena perutnya yang protes minta diisi. Aria bangkit dan duduk diantara gulungan selimutnya. Sejenak ia merasa aneh dengan keadaan sekelilingnya. Semua perabotan di kamar itu berjumlah dua. Aria mengernyitkan dahinya. Dimana aku, pikirnya.

Aria duduk diam beberapa saat hingga otaknya benar- benar mulai bekerja. Ah, aku di asrama. Di Jeju. Jauh, sangat jauh dari rumah.

Tempat tidur Aom rapi. Tidak terdengar suara air pancuran dari kamar mandi. Aria menuruni tempat tidur, lalu mengecek jam di ponselnya. Jam sepuluh. Ia lagi- lagi melewatkan jadwal sarapan di kantin asrama. Aria bergerak ke kamar mandi.

Aria sedang duduk di depan mejanya, menonton sebuah acara televisi Korea di laptopnya saat pintu kamar di buka. Aom masuk, ia baru saja pulang jalan- jalan pagi, hal yang selalu dilakukannya sejak hari pertama Aria menjadi teman sekamarnya. Mata Aom berhenti di tangan Aria yang sedang memegang bungkusan besar snack jagung bakar. Aromanya mengisi seluruh ruangan.

“Jangan katakan padaku kalau itu adalah sarapanmu.”

Aria tertawa saja. Lalu menggangguk pelan penuh rasa bersalah. Aom menggeleng pelan.

“Aku serius, Aria-ssi. Sebaiknya kau pergi ke pusat kebugaran di atas dan coba menimbang berat badanmu. Kurasa kau sangat kurus sekarang.” Bahasa Korea Aom-ssi sekarang seimbang dengan bahasa Inggrisnya, ia selalu mencampur keduanya saat berbicara.

 

Saat kelas bahasa Korea selesai pada pukul setengah lima sore, Aria sudah kelaparan setengah mati. Perutnya bergemuruh pelan selama setengah jam terakhir, tanpa jeda. Ia sedikit menyesal tidak makan sebelum pergi kuliah tadi siang. 

Momoko, mahasiswi asal Jepang yang pendiam dan berwajah sangat anggun, mengajak mereka makan malam di luar hari ini. Kata Momoko, di dekat gerbang utama universitas, ada beberapa restoran kecil yang enak. Aria bertekat akan mencoba banyak hal baru, apapun itu, selama tinggal di tempat ini. Jadi, ia sangat bersemangat menyanggupi ajakan Momoko.

Cuaca belakangan sudah mulai hangat. Kata Aom-ssi, sebentar lagi bunga- bunga akan bermekaran. Ia harus melihat sakura, yang asli. 

“Momoko-ssi, aku iri padamu. Kau seumur hidup bisa melihat bunga sakura bermekaran tiap musim semi.”

Aom-ssi berkata sambil sibuk mengambil foto dengan ponselnya. Momoko hanya tertawa pelan. Oh-oh, bahkan ia tertawa dengan anggun.

“Aku melihat brosurnya kemarin, minggu depan akan ada festival bunga sakura. Kalian mau pergi bersama melihatnya?”

“Tentu saja!” Aria menyahut bersemangat, berbarengan dengan perutnya yang bergemuruh lagi. Kali ini agak sedikit lebih keras. Aria berharap Aom dan Momoko tak mendengarnya. Dan kelihatannya memang demikian karena mereka berdua sibuk membicarakan soal festival sakura.

Aria menarik sedikit celana jeans-nya. Celana itu sekarang sudah longgar. Ya ampun, Aom-ssi benar. Sepertinya ia sudah sangat kurus sekarang. Ibunya tak akan suka kalau tahu ia tidak makan dengan teratur disini. Mungkin ibu akan langsung menelepon dan memberinya perintah untuk segera pulang.

Oh, ya. Ia belum menelepon kerumah lagi dalam minggu ini. Aria merogoh saku celananya lalu mengeluarkan ponsel barunya. Ia baru saja membelinya kemarin sore. Awalnya ia hanya harus mengganti nomor ponselnya saja dengan nomor baru yang bisa digunakan di sini. Namun, ia berakhir dengan sebuah ponsel baru saat keluar dari toko.

Yoonha ssi yang menemaninya pergi sampai tertawa melihat Aria mudah sekali digoda oleh sales toko ponsel tersebut. Kini ia menimbang- nimbang ponsel tipis berwarna gelap ditangannya. Aria menyentuh layarnya lalu menekan nomor rumahnya. 

“Aria-ssi, kau ketinggalan!” Aom-ssi melambai. Ia dan Momoko sudah jauh di depan.

“Duluan saja. Aku akan menelepon ibuku sebentar.” Aria melambaikan tangannya. Teleponnya dijawab setelah dering kedua. Aria menanyakan kabar anggota keluarganya satu persatu. Kedua adiknya dengan semangat bergantian memintanya menggambarkan keadaan Korea. 

Aria tertawa- tawa mendengar kedua adiknya. Ia menyusuri jalan yang menurun. Aom dan Momoko berjalan pelan beberapa meter di depannya.

Aria mengamati pohon- pohon besar yang berjajar tumbuh di sepanjang jalan. Pucuk- pucuk hijau kecil sudah mewarnai dahan- dahan besar yang seingatnya saat ia tiba di sini masih gundul.  Aria sedang menceritakan festival sakura saat seseorang tak sengaja menyenggol bahunya. Ponsel di genggamannya melompat dari tangan Aira. Dalam gerakan lambat Aira melihat ponsel barunya melayang di udara lalu gaya gravitasi menghempaskan ponselnya ke trotoar. Bunyi ponsel yang menghantam trotoar serasa menyayat hatinya. Ia menjerit tertahan.

Oh.. tidak. Tidak.

Aria tak bergerak, masih menatap ponselnya. 

“Ugh. Maafkan aku,” sebuah suara terdengar dari belakang Aria. Lalu jari- jari yang panjang menggapai dan mengangkat ponsel Aria dari trotoar. Mata Aria mengikuti arah jari-jari itu.

“Ah, layarnya retak…” Seorang laki-laki berdiri di depan Aria dengan ponsel Aria digenggamannya. Aria masih mematung di tempat. Matanya nyaris tak berkedip. Pandangannya berpindah dari ponsel lalu ke wajah laki- laki yang memegangnya. Laki- laki itu masih mengamati ponsel Aria. Memeriksa kerusakan apalagi yang dialami ponsel malang Aria.

Oh! Ini laki- laki kemarin.

“Mm.. Ponselmu tak bisa menyala.” Kali ini ia menoleh pada Aria. Entah apa yang salah pada wajahnya, tapi mata laki- laki itu melebar saat melihatnya. Sedetik Aria ingin menganggap tatapan laki- laki itu karena ia mengagumi wajah Aria. Tapi Aria melihat jelas wajah laki- laki itu memucat. 

Aria memiringkan kepalanya. Ia sekarang jadi sedikit sebal.

“Kau seperti habis melihat hantu,” serunya melihat cara laki- laki ini menatapnya. Ia mengambil ponselnya dari tangan laki- laki itu. Aria meringis saat mencoba menyalakan ponselnya. Layarnya retak.

Oh! Sial! 

Laki- laki di depannya kembali berbicara, kelihatannya sudah pulih dari rasa kaget. Atau ketakutan. Entahlah. Aku kan bukan hantu. Yang benar saja.

“Berikan ponselmu padaku. Akan aku perbaiki.” Ia mengulurkan tangan. “Aku minta maaf,” tambahnya sambil menundukkan kepala sedikit.

Aria menghela napas. Ia berdiri diam dengan tangan dilipat di dadanya. Aria menimbang- nimbang. Tentu saja ponselnya ini harus diperbaiki. Lihat saja keadaannya, seperti manusia habis kecelakaan lalu lintas. Dan seingat Aria, mengganti layar ponsel yang retak itu tidak murah. 

Jadi memang sebaiknya Aria terima saja tawaran laki- laki ini.  “Baiklah. Tapi, pinjamkan aku sebentar ponselmu. Aku harus memberitahu ibuku kalau ponselku rusak.” Ia menyodorkan ponsel rusaknya.

Tanpa banyak tanya laki- laki itu mengeluarkan ponselnya dari saku mantel dan memberikannya pada Aria. “Kalau kau mau, kau bisa pakai dulu ponselku selama ponselmu diperbaiki.”

Aria mengibas- ngibaskan tangannya. “Tak perlu. Tak apa- apa.” Aria mengetik dengan cepat sebuah pesan, lalu mengetik nomor penerimanya.

“Ini. Terima kasih.”

“Tuliskan alamat email-mu. Akan ku beritahu saat ponselmu selesai.”

Aria terdiam sejenak. Ia mengamati laki- laki di depannya tanpa sadar. Melihat Aria diam, laki- laki menambahkan,” kau punya komputer untuk mengecek email-mu kan?”.

“Tentu saja.” Apa maksudnya sih. Ia jadi sebal lagi. Dengan cepat Aria mengetik alamat emailnya di ponsel laki- laki itu.

“Hmm.. aku Alex. Ku rasa kau harus tahu namaku karena aku akan membawa ponselmu.”

Aria menyambut saja tangan yang diulurkan ke hadapannya. “Aria,” jawabnya singkat. Ia segera menarik tangannya, lalu mengembalikan ponsel yang di pegangnya.

Aom dan Momoko tampak berhenti tak jauh dari gerbang universitas. Mereka menunggu Aria. “Baiklah. Aku harus segera pergi. Sampai nanti.” Aria berbalik dan bersiap melangkah.

“Kau yakin tak mau memakai ponselku untuk sementara?” Suara dalam laki- laki itu menghentikan Aria. Aria menoleh sedikit,”tak perlu. Tak apa- apa.” Mungkin laki- laki itu merasa tak enak hati, pikir Aria. Jadi Aria tersenyum untuk menyakinkan kalau ia tak perlu merasa tak enak hati.

Aria setengah berlari menuju tempat Aom dan Momoko masih berdiri. Aria teringat cara laki- laki tadi menatapnya. Aria tahu orang- orang sering mengira ia sakit karena kulitnya yang putih pucat. Tapi, kakinya kan tidak melayang- laying di atas tanah. Jadi, laki- laki tadi tak perlu sekaget itu melihatnya.

“Aria-ssi, kau lama sekali. Ada apa?”, tanya Aom segera saat Aria tiba di depannya. Aria menunduk memegang lututnya. Ia mengatur napas yang terengah- engah.

“Ayo, aku sudah lapar sekali. Aku tak punya tenaga untuk bicara sekarang,” ucap Aria saat napasnya sudah agak teratur. Perutnya bergemuruh lagi. Ia akan menghabiskan tteokpokki satu porsi besar untuk dirinya sendiri.

 

***

Alex Kang berbelok dengan cepat di ujung jalan. Ia memijit keningnya, matanya lelah. Kurang tidur selama berhari- hari dan duduk menatap layar komputer nyaris seharian bukanlah kombinasi yang cukup bagus. Saat pekerjaannya selesai, ia baru sadar lampu- lampu dalam ruangannya sudah menyala. Matahari sudah tenggelam dan langit sudah gelap di luar.

Alex memutuskan akan membeli kimbab saja di mini mart, ia lapar. Lelah. Alex melemaskan bahunya yang terasa kaku. Alex menghirup udara malam banyak- banyak. Alex sudah memutuskan,  ia harus tidur malam ini. Alex harus menghentikan mimpi- mimpi yang mengganggu tidurnya. Ia yakin mimpi- mimpi itu muncul karena ia terus memikirkan gadis yang dilihatnya kemarin. Sungguh kebetulan yang mengganggu. Bisakah manusia semirip itu? Bukannya ada teori yang bilang setiap manusia punya tujuh kembaran? Pikiran- pikiran itu berputar dalam kepala Alex. Kontras dengan suasana jalan yang sunyi, isi kepala Alex sungguh riuh.

Friday, August 6, 2021

Sepenggal fiksi lama. Banyak kali inspirasi awak jaman dulu yaa....


-----
Awalnya aku tak menyadari kehadirannya. Ia biasa saja. Hanya bagian rutinitas dari ruangan kerja ini. Aku lupa kapan semua ini berawal. Kapan ia jadi bagian menarik bagi mataku, lalu hatiku. Sial!

"Minna-ya. Tolong print kan berkas ini untukku".
Aku menoleh pada sebuah flashdisk yang didaratkan atasanku dimeja, mengalihkan mataku meja besar di sebelah.

Perhatianku sejenak fokus pada layar komputer. Sesuatu yang aku syukuri. Aku menunggui kertas terakhir keluar dari printer. Pekerjaan hari ini sudah selesai, jam pulang masih beberapa jam lagi.

Aku kerajinan, bisa jadi.
Aku tersenyum sendiri. Sampai lagi- lagi bola mataku bergerak otomatis ke arah kiri. Membuat aku memandang dia lagi.

Berkemeja biru hari ini.

Aku menatap wajah seriusnya yang terpaku diatas sebuah map berkas. 5 detik. 10 detik.
Satu sisi di diriku lalu bangun.

Hei! Kau melakukannya lagi!

Dari wajah putih berahang kokoh, kuturunkan pandanganku memandang sepatunya. Ku hela napas keras-keras. Kesal dan menyesal. Jantungku yang tadi balapan, memelankan ritmenya.
Aku kembali pada berkasku.

Aku jatuh cinta padanya?
Ku pastikan tidak. Belum sampai tahap itu, setidaknya. Ia menggelitik rasa penasaranku. Kurasa begitu.
Ia hanya bicara padaku jika ia perlu. Dengan yang lain? Aku begitu sering melihatnya berbagi senyum.

"Minna-ssi! Aku mengirim pesan untukmu semalam, kenapa tak kau balas?".
Aku menjawab dengan suara tak jelas bahwa aku sudah tidur tadi malam. Lalu menyunggingkan senyum dan membiarkan rekan kerjaku.....


-----

Putus tiada lanjutan gais...

Friday, June 18, 2021

Rhymes

 Aku dulu ngecengin orang, ngecengnya setahunan. Sempet jadian, 3 mingguan. Diputusin karena aku anak rumahan yang ga bisa dibawa kelayapan. LOL

Patah hati gatau bilang. Ada kali 3 tahunan.  Sungguh dulu introvert kawakan. Ya terus sekarang kalo diinget, malah jadi bahan ketawaan. Masa muda ada- ada saja.


Berima yes?

Thursday, June 10, 2021

Gem (?)

 OMFG it's 2021...Terakhir ngepost itu 2018. Waktu sungguh berlalu bagai kilat. Tahun berganti, kepribadian berganti (believe me, i'm not that introvert anymore LOL). Aaaaand look what i've found on my flash disk..not bad, not bad...i'll post this unfinished story. Enjoy lol lol



Satu


“Paman, Jeju National University. Ok?”. Aria Putri sudah mengulang kalimat itu setidaknya tiga kali. Namun, laki- laki setengah baya di depannya tetap menggeleng sambil memandang bingung. Ia menggumamkan beberapa patah kata asing. Mungkin mengekspresikan kebingungannya. Udara dingin menggigit- gigit jemari Aria yang sudah memerah. Dagu dan hidungnya mulai mati rasa. Ia belum bisa membayangkan bagaimana dirinya yang seumur hidup tinggal di negara tropis akan beradaptasi dengan suhu dingin di pulau ini.

“Jeju?”.

“Ne*. Jeju National University.” 

Oh tidak, apakah Aria juga harus menerjemahkan kata national dan university ke dalam bahasa Korea? Ia ingin menangis sekarang. Aria menunduk. Pandangannya mulai kabur, air mata perlahan menggenang. Perutnya berbunyi pelan. Ia lapar, tadi ia sarapan di pesawat pada pukul lima pagi. Mengunyah omeletnya dengan mata setengah terbuka. Tapi ia tak bisa menghabiskan sarapannya karena perutnya masih tidur pada jam- jam itu. Sekarang Aria sedikit menyesal tak menghabiskannya. Belum lagi lehernya sakit karena tidur dengan tak nyaman selama tujuh jam di pesawat.

 Aria memaksa dirinya untuk berpikir. Namun udara dingin yang masih belum familiar ini kelihatannya membekukan otak Aria. Hingga akhirnya ia melirik ke tangannya yang mengepal lemah. Secarik kertas putih yang sudah kusut ada di sana. Oh! Perlahan ia membuka kertas dengan berbagai nomor yang ditulis dengan pensil. Aria mendapatkannya dari laki- laki di konter informasi. Aria menelusuri baris- baris angka tersebut. 

“Jeju-dae*?” tanya Aria penuh harap setengah bertanya.

Paman supir taksinya mengucapkan “ah” sambil menepuk kedua tangannya dengan ekspresi bilang- dari-tadi- dong. Paman supir taksinya mengangkat koper Aria ke bagasi. Aria memandangnya dengan sedikit rasa bersalah. Kopernya besar dan berat, penuh berbagai barang mulai pakaian sampai mie instan cup. Saat paman supir taksi menuju ke balik kemudi, baru Aria masuk ke dalam taksi. Ia menghempaskan dirinya di kursi taksi yang empuk. Ia menarik napas panjang, melemaskan otot- ototnya yang lelah. Bahunya yang tegang akhirnya bisa rileks sejenak.

Aria memperhatikan sekelilingnya. Langit diluar cerah sekali. Pertama kalinya ia bisa mengapresiasi suasana kota itu setelah mendarat tiga jam lalu. Taksinya melaju dengan santai, jalanan benar- benar lenggang. Deretan pertokoan di kiri dan kanannya sebentar- sebentar menghilang, berganti dengan lahan yang luas. Tidak ada gedung pencakar langit super tinggi, sejauh yang bisa dilihatnya sampai saat ini.

Matahari bersinar terang, tapi suhu diluar benar- benar  dingin. Selama ini Aria selalu penasaran saat melihat di televisi, orang- orang berpakaian tebal padahal cuacanya sangat cerah. Bagaimana bisa begitu? Apa tidak kepanasan? Hari ini ia mendapat jawabannya. Untuk pertama kali ia merasakan sendiri yang namanya musim dingin, atau ini musim semi? Tak tahulah.

Aria memijit pelipisnya pelan. Ia teringat apa yang dialaminya tiga jam yang lalu. Pukul setengah tujuh pagi ini, Ia sudah berlari- lari melintasi setengah bandara Incheon yang luasnya minta ampun karena takut ditinggal pesawat. Bukan hal yang mudah karena ia sambil berusaha mengontrol troli berisi koper seberat 35 kilo. Semua terjadi berkat arahan sesat dari salah satu petugas bandara yang menunjukkan padanya konter airlines yang salah.

Mendarat di Jeju juga bukan akhir dari masalahnya. Pihak universitas yang tadinya hendak menjemput, ditunggui setengah jam tak juga muncul. Hingga ia memutuskan bertanya sedapatnya pada lelaki muda yang berdiri di belakang meja bertuliskan informasi. Laki- laki itu membekali Aria dengan secarik kertas bertuliskan nomor-nomor bus yang bisa ia tumpangi. Namun naik bus bukan pilihan buatnya. Tak terbayang bila ia, dengan tinggi yang tak seberapa, harus berdiri dengan koper besarnya.

Kertas yang akhirnya menolongku, pikir Aria.

Ia mendengus mengingat betapa susahnya ia berbicara dengan sopir taksi tadi. Bagaimana mungkin paman itu tak mengerti kata- kata sesederhana national dan university?

Dengan semua kejadian pagi ini, Aria jadi mempertanyakan keputusannya datang kemari. Ah, semoga saja bukan keputusan jelek yang sudah dia buat.

Yang benar saja!

Aria akan memanfaatkan waktunya di pulau ini dengan amat sangat baik. Saat- saat yang berharga. Ia akan memastikan diri jauh- jauh dari masalah apapun.


***

Jalanan kosong sama sekali. Tak satupun  mahasiswa kelihatan. “Sial! Jangan bilang kalau aku sudah terlambat.” Aria memperbesar langkah kakinya. Sambil setengah berlari, ia melirik jam tangannya. Yang benar saja, ia tak mungkin terlambat. Kelasnya dimulai jam dua, dan saat ini bahkan belum jam dua. Setidaknya, Aria masih punya dua menit lagi.

Aria menghabiskan dua menitnya untuk mengingat dimana letak kelasnya. Ia tiba bersamaan dengan dosennya. 

Baek seonsaengnim* berdiri di tengah ruangan. Rambutnya hitam sebahu, terdapat bekas ikatan rambut di pertengahannya. Ia menyentuh kacamatanya sedikit, lalu bersuara menyuruh seisi kelas membuka buka. Ia melakukannya dalam bahasa Korea.

Aria sempat kaget saat mengetahui bahwa dirinya, bersama lima belas mahasiswa asing lainnya, akan diajari bagaimana berbahasa Korea menggunakan bahasa Korea sebagai bahasa pengantar. Namun, sejauh ini semuanya lancar- lancar saja. Mengagumkan. Mereka diperbolehkan menggunakan ponsel sebagai translator.

Mereka mendapat istirahat selama lima belas menit pada pukul tiga. Aria berdiri di koridor, menggigil karena udara yang dingin. Ia berharap Aom, teman sekelas yang sedang ditunggunya, tak berlama- lama di kamar kecil.

Koridor itu lumayan panjang. Di sisi kiri koridor, terdapat beberapa pintu- pintu coklat muda, tempat ruang kelas lain berada. Di sisi kanan, jendela- jendela kaca super besar  menampakkan pemandangan lapangan olahraga di seberang jalan. Hari ini, cuacanya agak berkabut, jadi segala sesuatu di luar jendela tak terlihat jelas.

“Aria-ssi*, aku sudah selesai. Ayo.”

Aria berbalik, lalu berjalan mengikuti Aom menuju lift di ujung koridor. Aom menekan tombol B1. Mereka bergerak turun.

Aom, teman sekelas Aria di kelas bahasa Korea. Ia berasal dari Thailand, tidak terlalu lancar berbahasa Inggris. Namun ia teman yang menyenangkan. Aom juga tahu banyak hal tentang pulau ini, dan sangat pintar mencari arah meskipun ia, sama seperti Aria, baru pertama kali ke pulau ini.

Aom menarik kerah sweater turtleneck-nya. Berusaha menutup dagunya yang kedinginan. Pintu lift terbuka. Aom melangkah keluar. Aria mengekorinya. 

Aria memegang cangkir kertas berisi coklat panas. Tangannya yang dingin dijalari kehangatan. Ini satu- satunya mesin penjual minuman hangat di gedung ini. Aom yang menemukannya. Ah, Aria bersyukur sekali ia bertemu Aom di sini. Dengan Aom, persentasenya tersesat di jalan langsung mengecil seketika.

Mereka berdua duduk diam di sofa bundar terdekat, menyesap minuman pelan- pelan. Sebuah langkah kaki menggema dari ujung ruangan. Lantai itu sangat sepi, jadi suara langkah kaki saja bisa terdengar ke seluruh ruangan.

Suara langkah kaki itu pelan- pelan mendekat. Dalam beberapa detik lagi Aria bisa melihat pemiliknya. Dan benar saja, seorang laki- laki jangkung lewat di depan mereka. Ia memandang lurus ke depan. Tanpa sadar, Aria berseru pelan,” wow…”

Aom menoleh padanya dengan pandangan bertanya. Aria terkekeh pelan pada Aom. Laki- laki itu menghilang di depan tangga.

“Benar- benar tampan,” Aria menjelaskan. 

Aom menggeleng- geleng. Ia menghabiskan kopinya lalu berdiri di depan mesin. Tak berapa lama, Aom sudah memegang cangkir kedua kopinya. 

“Menurutmu yang tadi itu tidak tampan? Tidak keren?” Aria menuntut penjelasan.

“Bukan. Ia memang tampan. Tapi kau, Aria, benar- benar tidak bisa lihat laki- laki tampan. Mereka pasti tidak akan luput dari matamu.” 

“Aom-ssi!” Aria protes. Aom hanya tertawa.

***


Aria berjalan pelan, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku mantel. Plastik besarnya berayun- ayun. Bila tak menahan diri, Aria nyaris membeli tiap jenis snack yang dilihatnya di minimart tadi. Ia ingin mencoba semuanya. 

Angin berhembus pelan membuat Aria menggigil. Ia menarik rapat bagian depan mantelnya. Harusnya tadi ia kancing saja. Tangannya gemetaran. Aria menoleh ke kiri dan kanan hendak menyeberang saat matanya menangkap sosok laki- laki di bawah lampu jalan. Sedetik kemudian Aria mengenalinya. Itu laki- laki yang dilihatnya tadi siang. Ia sedang berjalan sambil berbicara di telpon. Wajahnya menunduk.

Laki- laki itu tiba- tiba mengangkat wajahnya. Sekarang, ia bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas. Ah, dia memang keren. Lagi- lagi Aria berseru pelan tanpa sadar,”wow…”

Aria tersenyum kecil saat laki- laki itu bertatapan dengannya. Lalu Aria berlari menyeberang jalan. Ia bergegas masuk begitu pintu asrama terbuka.

“Ah, hangatnya,” Aria mendesah pelan saat memasuki kamar.  Aom menoleh, matanya membesar melihat Aria.

“Kau membeli sebanyak itu? Kau habis… merampok minimart?”

Aria mengangkat bahu. “Aku tak berdaya. Mereka semua minta aku cicipi.”

Aom mendengus pelan.

Aria melambai tangan pelan. “Tenang saja, Aom-ssi. Aku takkan menghabiskan semuanya sekaligus.” Aria meletakkan belanjaannya diatas meja, lalu dengan gembira menyusun berbungkus- bungkus snack itu di rak.

“Oya, aku bertemu dengannya lagi.”

“…”

“Laki- laki itu, yang tinggi dan keren.”

“Yang mana? Hari ini, setidaknya… ada tiga laki- laki yang kau sebut keren.” Aom kembali menekuni jari- jari tangannya setelah berkata begitu.

“Yang di lobi tadi. Ia lewat saat kita sedang beli kopi. Tadi aku berpapasan dengannya di belakang. Kau tahu? Dia memang benar- benar tampan. Tapi entah kenapa, seolah- olah dia penuh kesedihan.”

Aom menoleh lagi. Kali ini, ia memandang ARIA sambil mengangkat alis. ARIA mengangkat bahunya. “Aku merasa begitu.”

“Wah, ARIA. Kurasa kita bisa pergi ke dokter untuk mengecek matamu.” ARIA hanya tertawa mendengarnya. Ia duduk dan membuka satu bungkus snack pedas.

“Hati- hati, lama- lama… kau bisa jatuh cinta padanya.”

***

Alex Kang berjalan pelan menyusuri trotoar. Ia tak terlalu memperhatikan langkahnya. Kakinya dipercayakan untuk menuntun. Pikirannya terbang kemana- mana. Tepatnya melayang beribu mil jauhnya. Selalu berhenti kepada sebuah wajah. Bayangan rambut hitam sebahu, mata gelap yang bersinar bila memandangnya. Lalu, bahu yang bergetar, pipi yang tirus. Kemudian, mata itu menutup. Bibir itu menjadi dingin. Dan rasa sakit yang familiar itu muncul lagi.

Alex berhenti. Ia menutup mata, lalu menghembuskan napas pelan. Alex membuka matanya setelah merasa dirinya cukup stabil. Ia mulai melangkah lagi.

Ponselnya berdering. Alex menjawabnya segera setelah melihat penelponnya.

“Halo, Jo. Apa yang kau lakukan menelpon ku jam segini? Bukannya disana masih pagi?”

“Halo juga, saudaraku. Hyong, aku belum tidur sama sekali, asal kau tahu saja. Dan ibu tak memperbolehkanku pergi tidur sampai aku menelponmu.”

Alex tersenyum lemah. “Katakan pada ibu, aku baik- baik saja. Tak perlu khawatir. Dan jangan minta aku menelponnya setiap hari. Aku tidak sepayah itu… Tidak lagi.” 

“Ya, ya. Ibu cuma khawatir, Hyong. Kalau kau tak mau menelponnya setiap hari, katakan sendiri pada ibu, Hyong. Aku tak mau mendapat ceramah tambahan dari ibu gara- gara Hyong.”

“Baiklah, Jo. Sekarang pergilah tidur.” Alex tersenyum. Alex menendang sebuah batu sambil mendengar adiknya masih mengoceh di ujung sana.

Alex berhenti berjalan. Kakinya membeku di tempat. Jantungnya berhenti berdetak sesaat. Matanya tak berkedip memandang ke seberang jalan. Gadis itu disana, menyeberang jalan. Lalu menghilang memasuki gedung.

Apa ia tak salah liat? Itu senyum yang sama. Rambut yang sama, hanya lebih panjang. Mata gelap yang sama. Tapi, tak mungkin…

“Hyong? Hyong, kau masih disana? Kau tak apa-apa kan?”

Oh. “Ya, aku… aku tak apa- apa…” jawab Alex pelan. Ia menyuruh Jo tidur lalu menutup telponnya. Alex berdiri di tempatnya entah berapa lama. Ia memandang gedung putih di seberangnya dengan tatapan kosong.

Matanya salah lihat? Tak mungkin, lampu- lampu jalan sangat terang sehingga yang tadi itu bukan ilusi. Akal sehatnya menolak untuk menerima, namun hatinya memaksa.

Angin berhembus lagi membuat udara semakin dingin. Alex mulai berjalan dengan enggan. Baiklah.. baiklah. Sebaiknya aku pulang dulu, lalu mencerna semuanya kemudian.