Friday, June 18, 2021

Rhymes

 Aku dulu ngecengin orang, ngecengnya setahunan. Sempet jadian, 3 mingguan. Diputusin karena aku anak rumahan yang ga bisa dibawa kelayapan. LOL

Patah hati gatau bilang. Ada kali 3 tahunan.  Sungguh dulu introvert kawakan. Ya terus sekarang kalo diinget, malah jadi bahan ketawaan. Masa muda ada- ada saja.


Berima yes?

Thursday, June 10, 2021

Gem (?)

 OMFG it's 2021...Terakhir ngepost itu 2018. Waktu sungguh berlalu bagai kilat. Tahun berganti, kepribadian berganti (believe me, i'm not that introvert anymore LOL). Aaaaand look what i've found on my flash disk..not bad, not bad...i'll post this unfinished story. Enjoy lol lol



Satu


“Paman, Jeju National University. Ok?”. Aria Putri sudah mengulang kalimat itu setidaknya tiga kali. Namun, laki- laki setengah baya di depannya tetap menggeleng sambil memandang bingung. Ia menggumamkan beberapa patah kata asing. Mungkin mengekspresikan kebingungannya. Udara dingin menggigit- gigit jemari Aria yang sudah memerah. Dagu dan hidungnya mulai mati rasa. Ia belum bisa membayangkan bagaimana dirinya yang seumur hidup tinggal di negara tropis akan beradaptasi dengan suhu dingin di pulau ini.

“Jeju?”.

“Ne*. Jeju National University.” 

Oh tidak, apakah Aria juga harus menerjemahkan kata national dan university ke dalam bahasa Korea? Ia ingin menangis sekarang. Aria menunduk. Pandangannya mulai kabur, air mata perlahan menggenang. Perutnya berbunyi pelan. Ia lapar, tadi ia sarapan di pesawat pada pukul lima pagi. Mengunyah omeletnya dengan mata setengah terbuka. Tapi ia tak bisa menghabiskan sarapannya karena perutnya masih tidur pada jam- jam itu. Sekarang Aria sedikit menyesal tak menghabiskannya. Belum lagi lehernya sakit karena tidur dengan tak nyaman selama tujuh jam di pesawat.

 Aria memaksa dirinya untuk berpikir. Namun udara dingin yang masih belum familiar ini kelihatannya membekukan otak Aria. Hingga akhirnya ia melirik ke tangannya yang mengepal lemah. Secarik kertas putih yang sudah kusut ada di sana. Oh! Perlahan ia membuka kertas dengan berbagai nomor yang ditulis dengan pensil. Aria mendapatkannya dari laki- laki di konter informasi. Aria menelusuri baris- baris angka tersebut. 

“Jeju-dae*?” tanya Aria penuh harap setengah bertanya.

Paman supir taksinya mengucapkan “ah” sambil menepuk kedua tangannya dengan ekspresi bilang- dari-tadi- dong. Paman supir taksinya mengangkat koper Aria ke bagasi. Aria memandangnya dengan sedikit rasa bersalah. Kopernya besar dan berat, penuh berbagai barang mulai pakaian sampai mie instan cup. Saat paman supir taksi menuju ke balik kemudi, baru Aria masuk ke dalam taksi. Ia menghempaskan dirinya di kursi taksi yang empuk. Ia menarik napas panjang, melemaskan otot- ototnya yang lelah. Bahunya yang tegang akhirnya bisa rileks sejenak.

Aria memperhatikan sekelilingnya. Langit diluar cerah sekali. Pertama kalinya ia bisa mengapresiasi suasana kota itu setelah mendarat tiga jam lalu. Taksinya melaju dengan santai, jalanan benar- benar lenggang. Deretan pertokoan di kiri dan kanannya sebentar- sebentar menghilang, berganti dengan lahan yang luas. Tidak ada gedung pencakar langit super tinggi, sejauh yang bisa dilihatnya sampai saat ini.

Matahari bersinar terang, tapi suhu diluar benar- benar  dingin. Selama ini Aria selalu penasaran saat melihat di televisi, orang- orang berpakaian tebal padahal cuacanya sangat cerah. Bagaimana bisa begitu? Apa tidak kepanasan? Hari ini ia mendapat jawabannya. Untuk pertama kali ia merasakan sendiri yang namanya musim dingin, atau ini musim semi? Tak tahulah.

Aria memijit pelipisnya pelan. Ia teringat apa yang dialaminya tiga jam yang lalu. Pukul setengah tujuh pagi ini, Ia sudah berlari- lari melintasi setengah bandara Incheon yang luasnya minta ampun karena takut ditinggal pesawat. Bukan hal yang mudah karena ia sambil berusaha mengontrol troli berisi koper seberat 35 kilo. Semua terjadi berkat arahan sesat dari salah satu petugas bandara yang menunjukkan padanya konter airlines yang salah.

Mendarat di Jeju juga bukan akhir dari masalahnya. Pihak universitas yang tadinya hendak menjemput, ditunggui setengah jam tak juga muncul. Hingga ia memutuskan bertanya sedapatnya pada lelaki muda yang berdiri di belakang meja bertuliskan informasi. Laki- laki itu membekali Aria dengan secarik kertas bertuliskan nomor-nomor bus yang bisa ia tumpangi. Namun naik bus bukan pilihan buatnya. Tak terbayang bila ia, dengan tinggi yang tak seberapa, harus berdiri dengan koper besarnya.

Kertas yang akhirnya menolongku, pikir Aria.

Ia mendengus mengingat betapa susahnya ia berbicara dengan sopir taksi tadi. Bagaimana mungkin paman itu tak mengerti kata- kata sesederhana national dan university?

Dengan semua kejadian pagi ini, Aria jadi mempertanyakan keputusannya datang kemari. Ah, semoga saja bukan keputusan jelek yang sudah dia buat.

Yang benar saja!

Aria akan memanfaatkan waktunya di pulau ini dengan amat sangat baik. Saat- saat yang berharga. Ia akan memastikan diri jauh- jauh dari masalah apapun.


***

Jalanan kosong sama sekali. Tak satupun  mahasiswa kelihatan. “Sial! Jangan bilang kalau aku sudah terlambat.” Aria memperbesar langkah kakinya. Sambil setengah berlari, ia melirik jam tangannya. Yang benar saja, ia tak mungkin terlambat. Kelasnya dimulai jam dua, dan saat ini bahkan belum jam dua. Setidaknya, Aria masih punya dua menit lagi.

Aria menghabiskan dua menitnya untuk mengingat dimana letak kelasnya. Ia tiba bersamaan dengan dosennya. 

Baek seonsaengnim* berdiri di tengah ruangan. Rambutnya hitam sebahu, terdapat bekas ikatan rambut di pertengahannya. Ia menyentuh kacamatanya sedikit, lalu bersuara menyuruh seisi kelas membuka buka. Ia melakukannya dalam bahasa Korea.

Aria sempat kaget saat mengetahui bahwa dirinya, bersama lima belas mahasiswa asing lainnya, akan diajari bagaimana berbahasa Korea menggunakan bahasa Korea sebagai bahasa pengantar. Namun, sejauh ini semuanya lancar- lancar saja. Mengagumkan. Mereka diperbolehkan menggunakan ponsel sebagai translator.

Mereka mendapat istirahat selama lima belas menit pada pukul tiga. Aria berdiri di koridor, menggigil karena udara yang dingin. Ia berharap Aom, teman sekelas yang sedang ditunggunya, tak berlama- lama di kamar kecil.

Koridor itu lumayan panjang. Di sisi kiri koridor, terdapat beberapa pintu- pintu coklat muda, tempat ruang kelas lain berada. Di sisi kanan, jendela- jendela kaca super besar  menampakkan pemandangan lapangan olahraga di seberang jalan. Hari ini, cuacanya agak berkabut, jadi segala sesuatu di luar jendela tak terlihat jelas.

“Aria-ssi*, aku sudah selesai. Ayo.”

Aria berbalik, lalu berjalan mengikuti Aom menuju lift di ujung koridor. Aom menekan tombol B1. Mereka bergerak turun.

Aom, teman sekelas Aria di kelas bahasa Korea. Ia berasal dari Thailand, tidak terlalu lancar berbahasa Inggris. Namun ia teman yang menyenangkan. Aom juga tahu banyak hal tentang pulau ini, dan sangat pintar mencari arah meskipun ia, sama seperti Aria, baru pertama kali ke pulau ini.

Aom menarik kerah sweater turtleneck-nya. Berusaha menutup dagunya yang kedinginan. Pintu lift terbuka. Aom melangkah keluar. Aria mengekorinya. 

Aria memegang cangkir kertas berisi coklat panas. Tangannya yang dingin dijalari kehangatan. Ini satu- satunya mesin penjual minuman hangat di gedung ini. Aom yang menemukannya. Ah, Aria bersyukur sekali ia bertemu Aom di sini. Dengan Aom, persentasenya tersesat di jalan langsung mengecil seketika.

Mereka berdua duduk diam di sofa bundar terdekat, menyesap minuman pelan- pelan. Sebuah langkah kaki menggema dari ujung ruangan. Lantai itu sangat sepi, jadi suara langkah kaki saja bisa terdengar ke seluruh ruangan.

Suara langkah kaki itu pelan- pelan mendekat. Dalam beberapa detik lagi Aria bisa melihat pemiliknya. Dan benar saja, seorang laki- laki jangkung lewat di depan mereka. Ia memandang lurus ke depan. Tanpa sadar, Aria berseru pelan,” wow…”

Aom menoleh padanya dengan pandangan bertanya. Aria terkekeh pelan pada Aom. Laki- laki itu menghilang di depan tangga.

“Benar- benar tampan,” Aria menjelaskan. 

Aom menggeleng- geleng. Ia menghabiskan kopinya lalu berdiri di depan mesin. Tak berapa lama, Aom sudah memegang cangkir kedua kopinya. 

“Menurutmu yang tadi itu tidak tampan? Tidak keren?” Aria menuntut penjelasan.

“Bukan. Ia memang tampan. Tapi kau, Aria, benar- benar tidak bisa lihat laki- laki tampan. Mereka pasti tidak akan luput dari matamu.” 

“Aom-ssi!” Aria protes. Aom hanya tertawa.

***


Aria berjalan pelan, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku mantel. Plastik besarnya berayun- ayun. Bila tak menahan diri, Aria nyaris membeli tiap jenis snack yang dilihatnya di minimart tadi. Ia ingin mencoba semuanya. 

Angin berhembus pelan membuat Aria menggigil. Ia menarik rapat bagian depan mantelnya. Harusnya tadi ia kancing saja. Tangannya gemetaran. Aria menoleh ke kiri dan kanan hendak menyeberang saat matanya menangkap sosok laki- laki di bawah lampu jalan. Sedetik kemudian Aria mengenalinya. Itu laki- laki yang dilihatnya tadi siang. Ia sedang berjalan sambil berbicara di telpon. Wajahnya menunduk.

Laki- laki itu tiba- tiba mengangkat wajahnya. Sekarang, ia bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas. Ah, dia memang keren. Lagi- lagi Aria berseru pelan tanpa sadar,”wow…”

Aria tersenyum kecil saat laki- laki itu bertatapan dengannya. Lalu Aria berlari menyeberang jalan. Ia bergegas masuk begitu pintu asrama terbuka.

“Ah, hangatnya,” Aria mendesah pelan saat memasuki kamar.  Aom menoleh, matanya membesar melihat Aria.

“Kau membeli sebanyak itu? Kau habis… merampok minimart?”

Aria mengangkat bahu. “Aku tak berdaya. Mereka semua minta aku cicipi.”

Aom mendengus pelan.

Aria melambai tangan pelan. “Tenang saja, Aom-ssi. Aku takkan menghabiskan semuanya sekaligus.” Aria meletakkan belanjaannya diatas meja, lalu dengan gembira menyusun berbungkus- bungkus snack itu di rak.

“Oya, aku bertemu dengannya lagi.”

“…”

“Laki- laki itu, yang tinggi dan keren.”

“Yang mana? Hari ini, setidaknya… ada tiga laki- laki yang kau sebut keren.” Aom kembali menekuni jari- jari tangannya setelah berkata begitu.

“Yang di lobi tadi. Ia lewat saat kita sedang beli kopi. Tadi aku berpapasan dengannya di belakang. Kau tahu? Dia memang benar- benar tampan. Tapi entah kenapa, seolah- olah dia penuh kesedihan.”

Aom menoleh lagi. Kali ini, ia memandang ARIA sambil mengangkat alis. ARIA mengangkat bahunya. “Aku merasa begitu.”

“Wah, ARIA. Kurasa kita bisa pergi ke dokter untuk mengecek matamu.” ARIA hanya tertawa mendengarnya. Ia duduk dan membuka satu bungkus snack pedas.

“Hati- hati, lama- lama… kau bisa jatuh cinta padanya.”

***

Alex Kang berjalan pelan menyusuri trotoar. Ia tak terlalu memperhatikan langkahnya. Kakinya dipercayakan untuk menuntun. Pikirannya terbang kemana- mana. Tepatnya melayang beribu mil jauhnya. Selalu berhenti kepada sebuah wajah. Bayangan rambut hitam sebahu, mata gelap yang bersinar bila memandangnya. Lalu, bahu yang bergetar, pipi yang tirus. Kemudian, mata itu menutup. Bibir itu menjadi dingin. Dan rasa sakit yang familiar itu muncul lagi.

Alex berhenti. Ia menutup mata, lalu menghembuskan napas pelan. Alex membuka matanya setelah merasa dirinya cukup stabil. Ia mulai melangkah lagi.

Ponselnya berdering. Alex menjawabnya segera setelah melihat penelponnya.

“Halo, Jo. Apa yang kau lakukan menelpon ku jam segini? Bukannya disana masih pagi?”

“Halo juga, saudaraku. Hyong, aku belum tidur sama sekali, asal kau tahu saja. Dan ibu tak memperbolehkanku pergi tidur sampai aku menelponmu.”

Alex tersenyum lemah. “Katakan pada ibu, aku baik- baik saja. Tak perlu khawatir. Dan jangan minta aku menelponnya setiap hari. Aku tidak sepayah itu… Tidak lagi.” 

“Ya, ya. Ibu cuma khawatir, Hyong. Kalau kau tak mau menelponnya setiap hari, katakan sendiri pada ibu, Hyong. Aku tak mau mendapat ceramah tambahan dari ibu gara- gara Hyong.”

“Baiklah, Jo. Sekarang pergilah tidur.” Alex tersenyum. Alex menendang sebuah batu sambil mendengar adiknya masih mengoceh di ujung sana.

Alex berhenti berjalan. Kakinya membeku di tempat. Jantungnya berhenti berdetak sesaat. Matanya tak berkedip memandang ke seberang jalan. Gadis itu disana, menyeberang jalan. Lalu menghilang memasuki gedung.

Apa ia tak salah liat? Itu senyum yang sama. Rambut yang sama, hanya lebih panjang. Mata gelap yang sama. Tapi, tak mungkin…

“Hyong? Hyong, kau masih disana? Kau tak apa-apa kan?”

Oh. “Ya, aku… aku tak apa- apa…” jawab Alex pelan. Ia menyuruh Jo tidur lalu menutup telponnya. Alex berdiri di tempatnya entah berapa lama. Ia memandang gedung putih di seberangnya dengan tatapan kosong.

Matanya salah lihat? Tak mungkin, lampu- lampu jalan sangat terang sehingga yang tadi itu bukan ilusi. Akal sehatnya menolak untuk menerima, namun hatinya memaksa.

Angin berhembus lagi membuat udara semakin dingin. Alex mulai berjalan dengan enggan. Baiklah.. baiklah. Sebaiknya aku pulang dulu, lalu mencerna semuanya kemudian.