So, di lebaran ini, sudah berapa orang yang nanyain "kapan kawin?" ke kamu?
Aku ga ada (lagi) dong *sombong*
LOL orang-orang uda capek kali ya nanyain itu mulu trus cuma dapet jawaban mesem-mesem doang.
Tapi tapi,the sodara-sodara itu malah bikin inovasi baru, daripada sekedar nanya kapan kawin question.
"*salam*
Ini yang abis lebaran mau itu ya?
*bengong*
Iya,mau itu..nikah...
*melongo*"
Bahkan ada yang langsung nodong klarifikasi karena denger kabar yang dibawa burung kalo diriku ini sedang nyari gedung buat resepsi... Fabulus sekali.
Anak tetangga depan lahiran H+1 lebaran, harusnya tekanan itu nambah ya? Tapi saya nya malah berasa lebih santai dari pada sebelum-sebelumnya.
Santai, soalnya masih banyak yang mau dilihat, masih banyak yang dipengenin...
Dan masih ga terima kalo besok itu Rabu, liburnya berakhir dong.
Kembalikan liburanku!
Tuesday, July 21, 2015
Tuesday, July 14, 2015
Time
"Yo, lama nggak liat kamu. Kamu kayanya jadi jarang ikutan kalau diajak jalan deh sekarang."
Aku mengatur napasku pelan, tetap dengan senyum bersahabat. Aku mencoba mengontrol diriku, agar protesku tak kentara kedengaran dan rindu itu tak melesak kepermukaan.
Rio bergerak sedikit di kursinya, matanya terus menatap ke arah dalam cafe. Aku tau dengan pasti apa yang diawasi mata itu. Dan aku tak suka. Ada sakit yang tiba- tiba berdenyut lagi.
"Maklumlah, aku masih pegawai baru. Mesti rajin- rajin ada di kantor," jelas Rio. Kini matanya menatapku. Masih mata yang sama, hanya kini berada dibalik frame kacamata berwarna hitam. Mata yang sama, sayu, dengan lingkar hitam yang sekarang lebih samar- samar terlihatnya.
Dia mengurusmu dengan baik. Kenyataan yang sangat aku benci untuk aku akui.
Tidak! Tidak! Aku tak akan mengakuinya. Kau mengurus dirimu dengan lebih baik, Rio. Bukan karena dia.
"Yakin?," tanyaku tajam.
"Maksudnya?"
Sekilas, tak terlihat jelas memang karena segera menghilang, tapi aku melihatnya, rasa tak senang di wajah Rio karena ucapanku. Aku tau, aku sudah menantang emosinya. Dan hal terakhir yang aku inginkan adalah membuat marah laki- laki ini, yang aku rindu setengah mati.
Rio masih diam. Matanya melirik lagi ke dalam cafe.
Mesti ya kamu sebegitunya menunggu dia? Dia cuma ke musala doang, Yo!
Kusambar gelas minumanku.
"Kita kan rindu sama kamu, Yo. Kamu nggak pernah nongol kalau diajak ngumpul. Padahal kamu dulu teman yang asik, seru. Diajak ngumpul kamu pasti datang," protesku.
Aku tak akan menahan diri lagi. Biar Rio tau, biar dia lihat. Aku rindu padanya, kehadirannya. Aku ada di sini, dari dulu sampai sekarang. Belum pergi ke mana- mana. Aku masih menunggu. Dia tau kan, ada sesuatu diantara kami berdua?
Setidaknya dulu.
Aku memainkan sedotan di gelasku. Mengaduk- aduk jus di dalamnya sampai berputar tak karuan seperti isi kepalaku, juga perasaanku.
Rio melirik lagi ke arah dalam cafe. Ia menghela napas pelan. Ku rasa dia sedang mengatur emosinya. Jelas terlihat kata- kataku tadi mengusiknya. Aku menunggu. Toh, selama ini aku juga menunggu, dan aku sanggup. Jadi, menunggu penjelasannya saat ini tak akan terasa terlalu lama. Aku orang yang sabar.
Tapi Rio diam saja di tempat duduknya. Ia bahkan kini tak melihatku.
"Yo...," panggilku.
Ia menoleh, tapi matanya kini menatapku dengan masam. Ia marah!
"Dulu, ya?" Rio bersuara dengan senyum dipaksakan.
"Iya, dulu. Sebelum kamu sama pacarmu yang sekarang!"
There. Sudah kukatakan.
Entah kenapa, tapi aku tiba- tiba jadi gugup luar biasa.
Rio menegakkan duduknya. Ia tak lagi menyimpan rasa marahnya. Matanya menatapku tajam. Kurasa menyebut- nyebut sesuatu soal pacarnya cukup bisa memicu emosi Rio. Aku cukup tegar untuk mendengar apapun yang akan dikatakannya. Apapun dari bibir itu. Aku siap terluka. Aku memang sudah patah hati, apalagi yang tersisa?
Benarkah? Bukankah aku masih berharap?
Rio membuka mulutnya. "Oya? Well, aku bahagia dengan dia. Sangat bahagia. Sayang sekali kamu nggak lihat itu, Ra. Aku ngga masalah ngga dianggap seru atau asik lagi. Dia pilihan terbaik yang pernah aku buat. Lagipula, manusia meluangkan waktunya untuk orang- orang yang mereka cintai kan?."
Mata Rio menangkap sesuatu di kejauhan dan kemarahannya padam jadi asap.
Rasanya sesuatu menohok tenggorokanku. Bersusah payah aku menelannya.
"Jadi, aku tak berhak kebagian sedikit dari waktu kamu?"
Rio bangkit dari kursinya. Ia tersenyum ke arah matanya memandang. Mata yang tadi terbakar emosi, kini menatap penuh sayang. Ia berpaling ke arahku. Senyum masih menghias bibirnya.
"Ra, kamu berhak meminta waktuku. Tapi aku juga berhak memutuskan, akan memberikannya pada siapa."
Aku merasa ia berbicara bukan hanya tentang waktu. Tapi tentang semuanya. Tentang hatinya yang juga aku pinta. Aku bisa mencintainya, tapi dia yang memutuskan akan memberi cintanya pada siapa.Itu jawabannya untukku.
Kulihat Rio mengulurkan tangannya. Lalu menggenggam erat tangan yang menyambutnya. Mereka akan berlalu.
"Duluan ya," pamitnya. Perempuan digenggamannya melambaikan tangan. Teman- teman riuh menggoda mereka.
Aku menunduk di atas gelasku. Ternyata hatiku masih tersisa kepingannya, dan kini patah lagi. Sebulir air mata menetes ke dalam gelas. Ku rasa jus melonku akan sedikit keasinan.
Aku mengatur napasku pelan, tetap dengan senyum bersahabat. Aku mencoba mengontrol diriku, agar protesku tak kentara kedengaran dan rindu itu tak melesak kepermukaan.
Rio bergerak sedikit di kursinya, matanya terus menatap ke arah dalam cafe. Aku tau dengan pasti apa yang diawasi mata itu. Dan aku tak suka. Ada sakit yang tiba- tiba berdenyut lagi.
"Maklumlah, aku masih pegawai baru. Mesti rajin- rajin ada di kantor," jelas Rio. Kini matanya menatapku. Masih mata yang sama, hanya kini berada dibalik frame kacamata berwarna hitam. Mata yang sama, sayu, dengan lingkar hitam yang sekarang lebih samar- samar terlihatnya.
Dia mengurusmu dengan baik. Kenyataan yang sangat aku benci untuk aku akui.
Tidak! Tidak! Aku tak akan mengakuinya. Kau mengurus dirimu dengan lebih baik, Rio. Bukan karena dia.
"Yakin?," tanyaku tajam.
"Maksudnya?"
Sekilas, tak terlihat jelas memang karena segera menghilang, tapi aku melihatnya, rasa tak senang di wajah Rio karena ucapanku. Aku tau, aku sudah menantang emosinya. Dan hal terakhir yang aku inginkan adalah membuat marah laki- laki ini, yang aku rindu setengah mati.
Rio masih diam. Matanya melirik lagi ke dalam cafe.
Mesti ya kamu sebegitunya menunggu dia? Dia cuma ke musala doang, Yo!
Kusambar gelas minumanku.
"Kita kan rindu sama kamu, Yo. Kamu nggak pernah nongol kalau diajak ngumpul. Padahal kamu dulu teman yang asik, seru. Diajak ngumpul kamu pasti datang," protesku.
Aku tak akan menahan diri lagi. Biar Rio tau, biar dia lihat. Aku rindu padanya, kehadirannya. Aku ada di sini, dari dulu sampai sekarang. Belum pergi ke mana- mana. Aku masih menunggu. Dia tau kan, ada sesuatu diantara kami berdua?
Setidaknya dulu.
Aku memainkan sedotan di gelasku. Mengaduk- aduk jus di dalamnya sampai berputar tak karuan seperti isi kepalaku, juga perasaanku.
Rio melirik lagi ke arah dalam cafe. Ia menghela napas pelan. Ku rasa dia sedang mengatur emosinya. Jelas terlihat kata- kataku tadi mengusiknya. Aku menunggu. Toh, selama ini aku juga menunggu, dan aku sanggup. Jadi, menunggu penjelasannya saat ini tak akan terasa terlalu lama. Aku orang yang sabar.
Tapi Rio diam saja di tempat duduknya. Ia bahkan kini tak melihatku.
"Yo...," panggilku.
Ia menoleh, tapi matanya kini menatapku dengan masam. Ia marah!
"Dulu, ya?" Rio bersuara dengan senyum dipaksakan.
"Iya, dulu. Sebelum kamu sama pacarmu yang sekarang!"
There. Sudah kukatakan.
Entah kenapa, tapi aku tiba- tiba jadi gugup luar biasa.
Rio menegakkan duduknya. Ia tak lagi menyimpan rasa marahnya. Matanya menatapku tajam. Kurasa menyebut- nyebut sesuatu soal pacarnya cukup bisa memicu emosi Rio. Aku cukup tegar untuk mendengar apapun yang akan dikatakannya. Apapun dari bibir itu. Aku siap terluka. Aku memang sudah patah hati, apalagi yang tersisa?
Benarkah? Bukankah aku masih berharap?
Rio membuka mulutnya. "Oya? Well, aku bahagia dengan dia. Sangat bahagia. Sayang sekali kamu nggak lihat itu, Ra. Aku ngga masalah ngga dianggap seru atau asik lagi. Dia pilihan terbaik yang pernah aku buat. Lagipula, manusia meluangkan waktunya untuk orang- orang yang mereka cintai kan?."
Mata Rio menangkap sesuatu di kejauhan dan kemarahannya padam jadi asap.
Rasanya sesuatu menohok tenggorokanku. Bersusah payah aku menelannya.
"Jadi, aku tak berhak kebagian sedikit dari waktu kamu?"
Rio bangkit dari kursinya. Ia tersenyum ke arah matanya memandang. Mata yang tadi terbakar emosi, kini menatap penuh sayang. Ia berpaling ke arahku. Senyum masih menghias bibirnya.
"Ra, kamu berhak meminta waktuku. Tapi aku juga berhak memutuskan, akan memberikannya pada siapa."
Aku merasa ia berbicara bukan hanya tentang waktu. Tapi tentang semuanya. Tentang hatinya yang juga aku pinta. Aku bisa mencintainya, tapi dia yang memutuskan akan memberi cintanya pada siapa.Itu jawabannya untukku.
Kulihat Rio mengulurkan tangannya. Lalu menggenggam erat tangan yang menyambutnya. Mereka akan berlalu.
"Duluan ya," pamitnya. Perempuan digenggamannya melambaikan tangan. Teman- teman riuh menggoda mereka.
Aku menunduk di atas gelasku. Ternyata hatiku masih tersisa kepingannya, dan kini patah lagi. Sebulir air mata menetes ke dalam gelas. Ku rasa jus melonku akan sedikit keasinan.
Tuesday, July 7, 2015
Men and Their...
Peka!
Sering banget denger omongan yang bilang cowok itu ngga peka. Well, sampe jadi bahan segala jenis anekdot,standup komedi and soon lah.
Ternyata bener loh ahahaha...
Even buat cowok yang self proclaimed dirinya peka,tetep aja level pekanya beda sama standard ingin-dimengerti-nya cewek.
Mungkin sebenernya cowok peka sih, tapi kalah sama standard ceweknya.
Peka menurut cewek ada di level 10, si cowok yang ngaku peka ada di level 6. Cewek-cewek,turunin standar dikit, mari!
Tapi, beneran deh, men take our words literaly.
Kalo kita bilang engga, dia anggap memang "engga".
Walaupun kita bilang engga di bibir,dalem hati padahal mah iya..sambil ngarep ujung-ujung cowoknya ngeh kalo maksudnya iya walaupun bilangnya engga. Pening?
Jadi,yang pening itu cewek apa cowok sebenernya?
π©: Ih,bagus ya...
π¦: kamu mau? Aku beliin.
π©: eh, engga, ga pa-pa. (Dalem hati "mauuu..beliin")
π¦: oh. Oke.
π©: ...
π¦:???
π©:kamu ga peka!
π¦:eh?
π©:kamu ga ngertiin aku
π¦:π©π²ππ« *berbusa
Sering banget denger omongan yang bilang cowok itu ngga peka. Well, sampe jadi bahan segala jenis anekdot,standup komedi and soon lah.
Ternyata bener loh ahahaha...
Even buat cowok yang self proclaimed dirinya peka,tetep aja level pekanya beda sama standard ingin-dimengerti-nya cewek.
Mungkin sebenernya cowok peka sih, tapi kalah sama standard ceweknya.
Peka menurut cewek ada di level 10, si cowok yang ngaku peka ada di level 6. Cewek-cewek,turunin standar dikit, mari!
Tapi, beneran deh, men take our words literaly.
Kalo kita bilang engga, dia anggap memang "engga".
Walaupun kita bilang engga di bibir,dalem hati padahal mah iya..sambil ngarep ujung-ujung cowoknya ngeh kalo maksudnya iya walaupun bilangnya engga. Pening?
Jadi,yang pening itu cewek apa cowok sebenernya?
π©: Ih,bagus ya...
π¦: kamu mau? Aku beliin.
π©: eh, engga, ga pa-pa. (Dalem hati "mauuu..beliin")
π¦: oh. Oke.
π©: ...
π¦:???
π©:kamu ga peka!
π¦:eh?
π©:kamu ga ngertiin aku
π¦:π©π²ππ« *berbusa
Subscribe to:
Posts (Atom)