Dua
Alex membuka mata saat burung- burung di luar apartemennya riuh berbunyi. Alex memaksa kakinya berayun dari atas tempat tidur. Dengan langkah berat dan mata setengah terbuka ia menuju jendela. Alex mendorong jendela kaca hingga terbuka sedikit. Ia membutuhkan hembusan udara pagi untuk membangunkannya secara total, tak peduli sedingin apapun cuaca diluar sana.
Alex beranjak ke kamar mandi, ia ada kelas pagi hari ini. Bayangan di cermin menatap balik pada Alex. Mata cekung, dengan lingkaran hitam di sekelilingnya yang semakin gelap saja.
Belakangan ini, Alex hanya tidur kira- kira satu jam saja sehari. Ia bisa jatuh sakit kalau begini.
Dan ibu akan terbang kesana, lalu menyeretmu pulang.
Alex mendengus pelan. Ibunya tahu benar kenapa ia jauh- jauh pergi kemari meninggalkan kota New York. Ibunya tahu benar, di sana semua yang terindah dan terburuk terjadi pada Alex. Yang terburuk… Alex menutup matanya saat kenangan itu berkelebat lagi.
Dan kini, hari- hari tanpa tidurnya kembali lagi. Alex menghela napas. Ia membiarkan wajahnya diguyur air pancuran.
Alex memutuskan untuk berjalan kaki menuju gedung kelasnya. Lagipula, apartemennya masih berada dalam lingkungan universitas. Dan Alex juga berencana mampir ke coffee shop di dekat minimart sebelah asrama mahasiswa.
Asrama mahasiswa… Gadis itu…
Alex mengernyitkan dahinya sambil memejamkan mata. Ingatan soal gadis itu seolah membuatnya sakit. Ah, Alex benar- benar butuh segelas kopi. Ia mempercepat langkahnya.
Alex melangkah pelan keluar dari coffee shop, ia menyesap kopinya. Kehangatan yang nyaman menjalari tubuhnya. Tanpa sadar, Alex menoleh ke arah kirinya. Lalu menatap lama jendela- jendela gedung putih berlantai lima itu. Di balik salah satu jendela itu, gadis itu tinggal. Mungkin ia sedang tidur nyenyak. Ironis sekali. Karena sejak melihatnya, Alex jauh sesuatu dari yang namanya tidur nyenyak.
Alex menyesap kopinya sekali lagi. Ia harus pergi, walaupun ia dengan senang hati berdiri seharian di sini. Dengan harapan ia bisa melihat gadis itu lagi. Sekedar untuk memastikan. Kemungkinan matanya hanya salah lihat. Karena gadis yang sudah pergi dari dunia ini, tak mungkin kembali lagi.
Sekedar memastikan…
***
Aria bersin- bersin selama lima belas menit terakhir. Ia mengabaikan hidungnya yang gatal lalu membalik badannya. Aria menarik selimutnya sampai menutupi kepala. Bersin- bersin itu mengganggu tidurnya. Mata Aria masih berat sekali. Ia mencoba tidur lagi.
Aria tertidur entah berapa lama. Ia terbangun kali ini karena perutnya yang protes minta diisi. Aria bangkit dan duduk diantara gulungan selimutnya. Sejenak ia merasa aneh dengan keadaan sekelilingnya. Semua perabotan di kamar itu berjumlah dua. Aria mengernyitkan dahinya. Dimana aku, pikirnya.
Aria duduk diam beberapa saat hingga otaknya benar- benar mulai bekerja. Ah, aku di asrama. Di Jeju. Jauh, sangat jauh dari rumah.
Tempat tidur Aom rapi. Tidak terdengar suara air pancuran dari kamar mandi. Aria menuruni tempat tidur, lalu mengecek jam di ponselnya. Jam sepuluh. Ia lagi- lagi melewatkan jadwal sarapan di kantin asrama. Aria bergerak ke kamar mandi.
Aria sedang duduk di depan mejanya, menonton sebuah acara televisi Korea di laptopnya saat pintu kamar di buka. Aom masuk, ia baru saja pulang jalan- jalan pagi, hal yang selalu dilakukannya sejak hari pertama Aria menjadi teman sekamarnya. Mata Aom berhenti di tangan Aria yang sedang memegang bungkusan besar snack jagung bakar. Aromanya mengisi seluruh ruangan.
“Jangan katakan padaku kalau itu adalah sarapanmu.”
Aria tertawa saja. Lalu menggangguk pelan penuh rasa bersalah. Aom menggeleng pelan.
“Aku serius, Aria-ssi. Sebaiknya kau pergi ke pusat kebugaran di atas dan coba menimbang berat badanmu. Kurasa kau sangat kurus sekarang.” Bahasa Korea Aom-ssi sekarang seimbang dengan bahasa Inggrisnya, ia selalu mencampur keduanya saat berbicara.
Saat kelas bahasa Korea selesai pada pukul setengah lima sore, Aria sudah kelaparan setengah mati. Perutnya bergemuruh pelan selama setengah jam terakhir, tanpa jeda. Ia sedikit menyesal tidak makan sebelum pergi kuliah tadi siang.
Momoko, mahasiswi asal Jepang yang pendiam dan berwajah sangat anggun, mengajak mereka makan malam di luar hari ini. Kata Momoko, di dekat gerbang utama universitas, ada beberapa restoran kecil yang enak. Aria bertekat akan mencoba banyak hal baru, apapun itu, selama tinggal di tempat ini. Jadi, ia sangat bersemangat menyanggupi ajakan Momoko.
Cuaca belakangan sudah mulai hangat. Kata Aom-ssi, sebentar lagi bunga- bunga akan bermekaran. Ia harus melihat sakura, yang asli.
“Momoko-ssi, aku iri padamu. Kau seumur hidup bisa melihat bunga sakura bermekaran tiap musim semi.”
Aom-ssi berkata sambil sibuk mengambil foto dengan ponselnya. Momoko hanya tertawa pelan. Oh-oh, bahkan ia tertawa dengan anggun.
“Aku melihat brosurnya kemarin, minggu depan akan ada festival bunga sakura. Kalian mau pergi bersama melihatnya?”
“Tentu saja!” Aria menyahut bersemangat, berbarengan dengan perutnya yang bergemuruh lagi. Kali ini agak sedikit lebih keras. Aria berharap Aom dan Momoko tak mendengarnya. Dan kelihatannya memang demikian karena mereka berdua sibuk membicarakan soal festival sakura.
Aria menarik sedikit celana jeans-nya. Celana itu sekarang sudah longgar. Ya ampun, Aom-ssi benar. Sepertinya ia sudah sangat kurus sekarang. Ibunya tak akan suka kalau tahu ia tidak makan dengan teratur disini. Mungkin ibu akan langsung menelepon dan memberinya perintah untuk segera pulang.
Oh, ya. Ia belum menelepon kerumah lagi dalam minggu ini. Aria merogoh saku celananya lalu mengeluarkan ponsel barunya. Ia baru saja membelinya kemarin sore. Awalnya ia hanya harus mengganti nomor ponselnya saja dengan nomor baru yang bisa digunakan di sini. Namun, ia berakhir dengan sebuah ponsel baru saat keluar dari toko.
Yoonha ssi yang menemaninya pergi sampai tertawa melihat Aria mudah sekali digoda oleh sales toko ponsel tersebut. Kini ia menimbang- nimbang ponsel tipis berwarna gelap ditangannya. Aria menyentuh layarnya lalu menekan nomor rumahnya.
“Aria-ssi, kau ketinggalan!” Aom-ssi melambai. Ia dan Momoko sudah jauh di depan.
“Duluan saja. Aku akan menelepon ibuku sebentar.” Aria melambaikan tangannya. Teleponnya dijawab setelah dering kedua. Aria menanyakan kabar anggota keluarganya satu persatu. Kedua adiknya dengan semangat bergantian memintanya menggambarkan keadaan Korea.
Aria tertawa- tawa mendengar kedua adiknya. Ia menyusuri jalan yang menurun. Aom dan Momoko berjalan pelan beberapa meter di depannya.
Aria mengamati pohon- pohon besar yang berjajar tumbuh di sepanjang jalan. Pucuk- pucuk hijau kecil sudah mewarnai dahan- dahan besar yang seingatnya saat ia tiba di sini masih gundul. Aria sedang menceritakan festival sakura saat seseorang tak sengaja menyenggol bahunya. Ponsel di genggamannya melompat dari tangan Aira. Dalam gerakan lambat Aira melihat ponsel barunya melayang di udara lalu gaya gravitasi menghempaskan ponselnya ke trotoar. Bunyi ponsel yang menghantam trotoar serasa menyayat hatinya. Ia menjerit tertahan.
Oh.. tidak. Tidak.
Aria tak bergerak, masih menatap ponselnya.
“Ugh. Maafkan aku,” sebuah suara terdengar dari belakang Aria. Lalu jari- jari yang panjang menggapai dan mengangkat ponsel Aria dari trotoar. Mata Aria mengikuti arah jari-jari itu.
“Ah, layarnya retak…” Seorang laki-laki berdiri di depan Aria dengan ponsel Aria digenggamannya. Aria masih mematung di tempat. Matanya nyaris tak berkedip. Pandangannya berpindah dari ponsel lalu ke wajah laki- laki yang memegangnya. Laki- laki itu masih mengamati ponsel Aria. Memeriksa kerusakan apalagi yang dialami ponsel malang Aria.
Oh! Ini laki- laki kemarin.
“Mm.. Ponselmu tak bisa menyala.” Kali ini ia menoleh pada Aria. Entah apa yang salah pada wajahnya, tapi mata laki- laki itu melebar saat melihatnya. Sedetik Aria ingin menganggap tatapan laki- laki itu karena ia mengagumi wajah Aria. Tapi Aria melihat jelas wajah laki- laki itu memucat.
Aria memiringkan kepalanya. Ia sekarang jadi sedikit sebal.
“Kau seperti habis melihat hantu,” serunya melihat cara laki- laki ini menatapnya. Ia mengambil ponselnya dari tangan laki- laki itu. Aria meringis saat mencoba menyalakan ponselnya. Layarnya retak.
Oh! Sial!
Laki- laki di depannya kembali berbicara, kelihatannya sudah pulih dari rasa kaget. Atau ketakutan. Entahlah. Aku kan bukan hantu. Yang benar saja.
“Berikan ponselmu padaku. Akan aku perbaiki.” Ia mengulurkan tangan. “Aku minta maaf,” tambahnya sambil menundukkan kepala sedikit.
Aria menghela napas. Ia berdiri diam dengan tangan dilipat di dadanya. Aria menimbang- nimbang. Tentu saja ponselnya ini harus diperbaiki. Lihat saja keadaannya, seperti manusia habis kecelakaan lalu lintas. Dan seingat Aria, mengganti layar ponsel yang retak itu tidak murah.
Jadi memang sebaiknya Aria terima saja tawaran laki- laki ini. “Baiklah. Tapi, pinjamkan aku sebentar ponselmu. Aku harus memberitahu ibuku kalau ponselku rusak.” Ia menyodorkan ponsel rusaknya.
Tanpa banyak tanya laki- laki itu mengeluarkan ponselnya dari saku mantel dan memberikannya pada Aria. “Kalau kau mau, kau bisa pakai dulu ponselku selama ponselmu diperbaiki.”
Aria mengibas- ngibaskan tangannya. “Tak perlu. Tak apa- apa.” Aria mengetik dengan cepat sebuah pesan, lalu mengetik nomor penerimanya.
“Ini. Terima kasih.”
“Tuliskan alamat email-mu. Akan ku beritahu saat ponselmu selesai.”
Aria terdiam sejenak. Ia mengamati laki- laki di depannya tanpa sadar. Melihat Aria diam, laki- laki menambahkan,” kau punya komputer untuk mengecek email-mu kan?”.
“Tentu saja.” Apa maksudnya sih. Ia jadi sebal lagi. Dengan cepat Aria mengetik alamat emailnya di ponsel laki- laki itu.
“Hmm.. aku Alex. Ku rasa kau harus tahu namaku karena aku akan membawa ponselmu.”
Aria menyambut saja tangan yang diulurkan ke hadapannya. “Aria,” jawabnya singkat. Ia segera menarik tangannya, lalu mengembalikan ponsel yang di pegangnya.
Aom dan Momoko tampak berhenti tak jauh dari gerbang universitas. Mereka menunggu Aria. “Baiklah. Aku harus segera pergi. Sampai nanti.” Aria berbalik dan bersiap melangkah.
“Kau yakin tak mau memakai ponselku untuk sementara?” Suara dalam laki- laki itu menghentikan Aria. Aria menoleh sedikit,”tak perlu. Tak apa- apa.” Mungkin laki- laki itu merasa tak enak hati, pikir Aria. Jadi Aria tersenyum untuk menyakinkan kalau ia tak perlu merasa tak enak hati.
Aria setengah berlari menuju tempat Aom dan Momoko masih berdiri. Aria teringat cara laki- laki tadi menatapnya. Aria tahu orang- orang sering mengira ia sakit karena kulitnya yang putih pucat. Tapi, kakinya kan tidak melayang- laying di atas tanah. Jadi, laki- laki tadi tak perlu sekaget itu melihatnya.
“Aria-ssi, kau lama sekali. Ada apa?”, tanya Aom segera saat Aria tiba di depannya. Aria menunduk memegang lututnya. Ia mengatur napas yang terengah- engah.
“Ayo, aku sudah lapar sekali. Aku tak punya tenaga untuk bicara sekarang,” ucap Aria saat napasnya sudah agak teratur. Perutnya bergemuruh lagi. Ia akan menghabiskan tteokpokki satu porsi besar untuk dirinya sendiri.
***
Alex Kang berbelok dengan cepat di ujung jalan. Ia memijit keningnya, matanya lelah. Kurang tidur selama berhari- hari dan duduk menatap layar komputer nyaris seharian bukanlah kombinasi yang cukup bagus. Saat pekerjaannya selesai, ia baru sadar lampu- lampu dalam ruangannya sudah menyala. Matahari sudah tenggelam dan langit sudah gelap di luar.
Alex memutuskan akan membeli kimbab saja di mini mart, ia lapar. Lelah. Alex melemaskan bahunya yang terasa kaku. Alex menghirup udara malam banyak- banyak. Alex sudah memutuskan, ia harus tidur malam ini. Alex harus menghentikan mimpi- mimpi yang mengganggu tidurnya. Ia yakin mimpi- mimpi itu muncul karena ia terus memikirkan gadis yang dilihatnya kemarin. Sungguh kebetulan yang mengganggu. Bisakah manusia semirip itu? Bukannya ada teori yang bilang setiap manusia punya tujuh kembaran? Pikiran- pikiran itu berputar dalam kepala Alex. Kontras dengan suasana jalan yang sunyi, isi kepala Alex sungguh riuh.